Quantcast
Viewing latest article 2
Browse Latest Browse All 5

Komentar: Kedudukan Bahasa Indonesia Dalam Budaya

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Bahasa Indonesia  berubah seiring berjalannya waktu. Di zaman sekarang , kita seringkali berpapasan dengan orang-orang yang, meskipun berbicara dalam Bahasa Indonesia, melakukannya dengan sentuhan slang. Contohnya bisa dilihat dalam gambar-gambar dibawah ini:


Image may be NSFW.
Clik here to view.
Screen Shot 2013-09-11 at 1.21.17 PM
Dalam foto diatas ditunjukan bahwa seorang anak kecil sedang berbicara lewat telefon menggunakan Bahasa Indonesia yang tergolong gaul. Kata-kata seperti “ciyus“, “matatih” dan “miapah” merupakan bagian dari sebuah tren bahasa bernama baby-talk. Konsep dibalik baby-talk adalah membuat kata-kata terdengar seperti perkataan seorang bayi. Kata “ciyus” merupakan versi baby-talk untuk kata “serius,” kata “matatih” untuk “masa sih,” kata “miapah” untuk “demi apa,” dan seterusnya.

Lewat foto tersebut, digambarkan bahwa budaya berbahasa Indonesia yang baku sudah berangsur-angsur menghilang, karena bahkan anak kecil saja sudah merasa lebih nyaman menggunakan bahasa  gaul daripada bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, bisa kita lihat  bahwa sang anak juga menggunakan topi dengan logo New York Yankees, sebuah tim kasti ternama asal Amerika. Penataan ini menyimbolkan bahwa Bahasa Indonesia tidak hanya terancam oleh gaya bahasa gaul, akan tetapi juga oleh pengaruh bahasa asing – dalam konteks foto ini, khususnya Bahasa Inggris. Terlebih lagi, topik pembicaraan si anak juga menunjukan adanya sebuah budaya asing lain yang mempengaruhi dunia hiburan Indonesia. Si anak tengah membicarakan bubarnya grup boyband “Sm*ah”, yang merupakan satu dari banyak boyband Indonesia yang terinspirasi oleh budaya boyband di Korea. Dari sini kita bisa melihat adanya kemungkinan bahwa perubahan dalam Bahasa Indonesia juga ada kaitannya dengan situasi sosial di Indonesia yang semakin lama semakin terbuka dengan budaya luar negeri.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pencitraan diatas menunjukan kedudukan Bahasa Indonesia yang berangsur-angsur menurun seiring menguatnya tren bahasa gaul dan budaya asing di Indonesia. Foto ini juga membuat saya berpikir, apakah generasi muda Indonesia sekarang terlalu gegabah karena telah rela mengorbankan budaya berbahasa Indonesia yang baik dan benar agar mereka dapat diterima di lingkungan masing-masing?


 

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Screen Shot 2013-09-11 at 1.21.05 PM

Contoh lain yang mengilustrasikan tergusurnya budaya berbahasa yang baku adalah kartun diatas yang berjudul “Jangan rojakkan bahasa Melayu dengan Inggeris.” Kartun sederhana ini menunjukan seorang lelaki Malaysia yang, sama seperti anak kecil dalam contoh pertama, sedang menggunakan telefon. Akan tetapi, karena lelaki tersebut sedang berbicara di tempat umum, ditunjukan jugalah pendapat satu orang lain dan seekor kucing terhadap gaya berbahasa laki-laki itu.

Dapat dilihat bahwa orang Malaysia yang sedang berbicara lewat telepon mencampuradukan Bahasa Melayu dengan Bahasa Inggris. Ia menyelipkan ungkapan Bahasa Inggris seperti “I waiting for you so long men!” dan “I think you” kedalam pembicaraannya. Ini menunjukan bahwa pengaruh bahasa asing juga dapat menjadi hal yang buruk karena dapat menyebabkan hilangnya penggunaan bahasa ibu dalam keseharian. Untuk menekankan ide ini, sang kartunis menyuarakan opini orang yang duduk disebelah laki-laki tersebut lewat ungkapan “lebih maik makan rojak daripada guna bahasa rojak.” Kalimat ini menyindir fakta bahwa bahasa yang dicampur-campur layaknya rujak terkadang malah menjadi tidak jelas dan sulit dimengerti.

Selain itu, ironi juga dimasukkan kedalam kartun ini dalam bentuk opini si kucing yang lebih matang daripada kedua laki-laki yang sedang duduk. Karena meskipun laki-laki yang sedang makan sadar akan kesalahan cara berbahasa laki-laki disebelahnya, Ia tidak berusaha menegur dan memilih untuk tetap asyik dengan rujaknya. Sementara si kucing seakan digambarkan sedang berusaha untuk mengigatkan lelaki yang menelepon bahwa “bahasa menunjukan bangsa,” dan dengan mencampur-campur bahasa, lelaki tersebut secara tidak langsung melunturkan identitias dirinya sebagai orang Malaysia. Yang lebih ironis lagi adalah fakta bahwa bukan hanya Bahasa Melayu laki-laki itu saja yang tidak benar, akan tetapi juga Bahasa Inggrisnya. Ini menggarisbawahi satu pemikiran lain, bahwa akan lebih baik apabila seseorang fokus menggunakan bahasa satu per satu. Karena mencampur-campur bahasa juga bisa menyebabkan kita gagal dalam menggunakan kedua bahasa secara benar.

Dari kartun ini dapat ditarik kesimpulan serupa bahwa kedudukan bahasa ibu bisa menurun karena adanya pengaruh kuat bahasa asing. Akan tetapi, kebiasan berbahasa yang salah juga mungkin disebabkan oleh orang-orang di lingkungan sekitar kita yang membiarkan kita berbicara seperti itu.


Untuk saya pribadi, saya pikir tidak ada salahnya bagi orang untuk belajar bahasa asing. Akan tetapi, orang tersebut memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa Ia menggunakan bahasa asing tersebut dengan baik dan benar, tanpa melupakan bahasa ibu mereka sendiri. Bahasa ibu seseorang sangatlah penting karena seringkali merupakan bagian identitas diri mereka sebagai warga negara. Khususnya untuk Bahasa Indonesia, ini ditegaskan oleh bunyi salah satu bagian dari Sumpah Pemuda: “kami putra dan putri Indonesia, menjujung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Oleh karena itu, kita sebagai orang Indonesia memiliki kewajiban untuk mempertahankan budaya berbahasa Indonesia yang baik.


Viewing latest article 2
Browse Latest Browse All 5

Trending Articles